Underrated Family Quality Time #1. Diskusi a.k.a Ngobrol
Salah satu privilege besar yang saya sadari adalah banyaknya "discussion-time" di keluarga, sejak kecil.
Setelah sy refleksikan kembali, budaya diskusi ini dibangun bertahap sejak kecil. Bahan diskusi/ obrolan bisa dibagi jadi 2 kategori:
- Hal2 yg terjadi di internal diri & keluarga
- Hal2 yg terjadi di eksternal (contoh: berita apa yg terjadi di luaran sana, hal2 yg diamati di jalanan)
Apa saja tahapan membudayakan diskusi yang dilakukan orang tua saya sejak kecil?
- Usia TK
Dimulai saat saya pra-sekolah, hampir setiap hari ibu saya menanyakan hal detil yang terjadi keseharian.
Contoh: Tadi dapat makan apa? Hari ini main apa sama siapa? Hari ini apa ada temanmu yang sedih di sekolah, gimana ceritanya? Dll.
Tentu saja tidak cuma tanya2 saja tapi bapak ibu saya juga sering membacakan buku cerita, atau kadang cerita juga aktivitas mereka. Hal ini juga penting sebagai stimulus contoh unt anak, bagaimana cara mengomunikasikan pengalaman kesehariannya.
- Usia SD kelas 1-3
Secara umum rutinitas masih sama, sambil dibelikan buku diary juga untuk saya latihan menuliskan kembali keseharian & perasaan2. Ditambah lagi karena usia ini logika sudah mulai terbangun, banyak dilakukan diskusi2 sebab-akibat.
Contoh: saya ingat betul ketika saya ultah ke-7, semua orang di rumah diminta menuliskan apa kelebihan dan kekurangan saya. Ini kemudian menjadi bahan diskusi orang tua dan saya, bahwa setiap tindakan kita akan berdampak pada orang lain. Contohnya, kalau kamu meremehkan hal-hal kecil seperti sering lupa membereskan piring, akibatnya pasti ada orang lain yang jadi repot. Jadi kita harus belajar untuk tidak hanya memikirkan diri kita sendiri.
- Usia SD kelas 4-6
Di usia ini juga mulai terbangun kebiasaan baca koran, karena mencontoh aktivitas bapak ibu setiap hari.
Sering sekali saya menanyakan kosakata2 baru yang saya temukan di artikel koran. Selain itu secara tidak sadar, kegiatan rutin membaca artikel-artikel "agak serius" (bukan ala2 teenlit) ini menjadi stimulus berpikir secara runut.
Apa yang membuat saya tertarik baca koran? Karena saya menangkap kesan "seru" saat ayah ibu saya diskusi hal-hal yang dibahas di koran wkwkkk. Jadilah saya ikutan ngantri kalau ibu saya beli majalah Tempo atau Gatra, ikut-ikutan sok paham dan sok tau hahaha.
- Usia SMP - SMA
Sesi harian favorit saya dulu ada 2
1. Sharing di meja makan
Di masa-masa ini orang tua saya juga sering bercerita tentang kejadian sehari-hari. Tentu bukan seperti curcol orang tua ya, tapi cerita2 kejadian yang kemudian dilengkapi dengan pemaknaan dari beliau yang bisa kami jadikan pembelajaran bersama. Misalnya, cerita tentang mahasiswanya yang struggle namun berprestasi, cerita tentang pak supir taxi yang ditemui di luar kota dan perjuangan beliau menguliahkan semua anaknya, dan lain2.
Dari cerita-cerita ini saya mendapatkan contoh langsung bagaimana memaknai sebuah peristiwa, bagaimana me-reframing kejadian sehingga hidup bisa lebih banyak diwarnai dengan rasa syukur dan sabar.
2. Nonton berita bareng dan diskusi (kadang seperti debat argumentatif? Wkwkk)
Bapak Ibu saya memang doyan sekali diskusi dan menjelaskan argumen-argumen untuk opininya. Yah, gmn ga, bapak saya aja katanya kesengsem sama ibu saya setelah lihat ibu saya debat di kampus :P
Diskusi terbuka seperti ini menjadi paparan saya bahwa diskusi dan debat itu sah-sah saja dan tidak perlu emosi ataupun baper. Hal yang lebih penting adalah dilakukan dengan komunikasi yang baik, saling berusaha memahami cara berpikir satu sama lain, dan berani mengakui bila cara berpikir kita memang perlu dikoreksi. Frasa-frasa seperti "Sebenernya itu gimana sih pak?", "Oooo maksude ngonoo", "Oo, emange ngono po? Kenapa?" adalah frasa2 netral yang sering saya dengar. Hal ini menjadi paparan yang baik sehingga memang saya jarang merasa "tersudut" atau "terserang" ketika berdiskusi dengan orang lain. Tidak ada salahnya atau tidak perlu malu untuk mengakui ketika kita tidak paham sesuatu, atau opini kita dikoreksi orang lain.
Diskusi dalam keluarga kadang menjadi aktivitas stimulus berpikir yg under-rated, mungkin karena hasilnya tdk terlihat secara langsung. Masih banyak org tua yg terjebak hanya fokus pada output2 spt, nilai rapor mtk, bhs inggris berapa. Bisa ikut lomba apa & juara ga? Tanpa menyadari bahwa fondasi logika berpikir, dan value2 cikal bakal karakter justru lbh banyak dibangun bukan dari sekolah, melainkan dari rumah.
Diskusi dlm keluarga akan menjadi fondasi berpikir logis dan terstruktur --> yg akan berpengaruh dalam performa akademik. Kok bisa?
Contohnya, diskusi akan berkaitan dgn skill matematika & bahasa.
Dalam kegiatan simpel menceritakan pengalamannya sejak kecil, secara tidak sadar ada latihan merunutkan kejadian dulu sebelum bercerita. Di samping itu, dengan menstimulusnya dengan pertanyaan, anak akan berlatih mencoba mengaitkan berbagai fenomena yang ia ceritakan, belajar sebab-akibat, memetakan hal2 yg ia ceritakan mana yang berhubungan, dll. Ini adalah fondasi dasar ketrampilan matematika dan bahasa.
Hal ini sebetulnya bisa juga diasah dengan banyak membaca. Kenapa? Karena banyak membaca akan memberikan banyak stimulus contoh buah pikir yg runtut dalam berbagai tulisan. Tetapi, mendiskusikan bacaan akan jauh lbh powerful karena anak akan berusaha menceritakannya kembali, belajar berpendapat, dan kita juga bisa langsung mengoreksi cara berpikirnya bila ada yang belum sesuai dgn value yg ingin dibangun dalam keluarga.
Di samping itu, setelah mengamati, berdiskusi dan bertanya2 pada kelg2 yg saya amati anak2nya punya prinsip (tdk mudah terpengaruh lingkungan meski tinggal sbg minoritas) + cara berpikir yg runut + performance akademik jg baik, salah satu persamaan yang ada dlm kelg mereka adalah "sering diskusi".
Maka, diskusi sejatinya adalah INVESTASI besar dalam pendidikan anak di keluarga.
Mari kita budayakan "discussion time" sebagai "quality time" keluarga!
Comments
Post a Comment