Indonesia: Tempat Berlindung Siapa?

Saya pernah berada pada masa apatis terhadap kondisi politik negara, dan tidak peduli terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Buat saya waktu itu, semua yang keluar dari mulut penguasa adalah hal-hal normatif, kurang menarik, dan tidak kelihatan dampaknya. Termasuk waktu itu, saya apatis pada masa pemilu dan tentu saja saya golput dan memilih tidak mau terlibat pada hiruk pikuk pesta demokrasi.

Sampai akhirnya saya mendapatkan kesempatan tinggal bersama masyarakat di daerah pelosok membuat saya sadar, bagaimana kebijakan strategis pusat berdampak banyak pada kehidupan masyarakat, bahkan bisa bertahun-tahun setelah kebijakan itu tak lagi diterapkan. 

Saya tinggal di desa paling selatan, di pulau paling selatan di NTT. Pertama kali saya menginjakkan kaki di sana pada musim kemarau, saya melihat hamparan savana kering dan sapi-sapi ternak kurus yang kadang menyebrang jalan. Musim kemarau sungguh panas dan kering, sampai-sampai beberapa teman kami untuk mandi pun harus menumpang ke desa lain. 

Saking panasnya, saya hampir tak percaya ketika saya berkunjung ke rumah warga dan mereka berkata,
"Semoga setelah musim panas ini ada musim hujan yang stabil supaya kita tidak gagal panen ya Bu"
"Oh, panen apa, Mama?"
"Beras, nanti kalau musim panas su selesai katong tanam padi ibu"
"Tanam padi? Di mana?" tanya saya yang hampir tak percaya di tanah seperti ini akan ditanami padi.
"Ya nanti ibu lihat"

Bulan-bulan berlalu, hingga datanglah musim hujan. Baru terlihat di mata saya warga mulai mengolah tanah untuk ditanami padi. "Kalau di sini tak seperti di Jawa, ibu. Di Jawa orang bisa panen 2x, katong (kita) di sini na panen padi sekali saja setahun. Jadi ya harus benar2 berdoa ini supaya sonde (tidak) gagal panen musim hujan ini".

Namun sayang seribu sayang, sebagaimana topik krisis iklim yang kian ramai diperbincangkan, saya pun menyaksikan hujan-hujan ekstrim yang menghanyutkan tanaman … juga menghanyutkan harapan warga yang tetap bertani di bawah panas dan hujan yang kian hari kian tak menentu.  

Hingga sampailah suatu waktu diskusi saya dengan seorang pamong senior
"Tahukah ibu, kalau saja kembali pada kebiasaan jaman dulu, ancaman kerentanan pangan itu mungkin tidak akan seperti ini di sini"
"Maksudnya bagaimana Pak? Memangnya dulu bagaimana?"
"Aslinya kami ini bukan pemakan nasi bu. Dulu kami menanam jagung dan umbi-umbian. Setiap halaman rumah pasti ada kebun jagung. Mengapa jagung dan umbi? Ya memang itu yang cocok tumbuh di tanah seperti ini. Dulu, kita tak perlu khawatir gagal panen. Jagung tidak perlu banyak air. Kita juga bisa tanam cabe. Semua tanaman-tanaman itu bisa tumbuh tanpa butuh banyak air."
"Jadi sejak kapan masyarakat di sini jadi menanam padi, Pak?"
"Yaa sebetulnya itu awal mulanya adalah kebijakan swasembada beras. Kami jadi harus ikut menanam beras. Jadilah ladang-ladang jagung berubah menjadi sawah"

Kini tanah sudah kadung berubah. Sementara kebijakan yang telah lewat rupanya meninggalkan dampak pada lingkungan yang malah menjadi makin rentan pada perubahan zaman. Dan kehidupan masyarakat sekitar? 

Saya pun makin paham, bahwa kita harus semakin resah pada pengelolaan-pengelolaan yang tak berdasarkan pada pengetahuan dan pemahaman kontekstual. Kita harus semakin resah pada kebijakan yang tak beretika dan menabrak tatanan lingkungan serta kearifan masyarakat. 

Sejak itu saya sadar, saya hanyalah sebagian kecil yang cukup memiliki privilege sehingga “seolah” apa yg dikatakan, dibuat pemerintah, apapun itu tidak terasa pengaruhnya. Mengapa? Karena secara tidak sadar saya “punya lebih banyak pilihan” yang tetap membuat saya berada dalam kenyamanan. Tapi berapa banyak yang bisa punya pilihan “nyaman” dan seolah tidak terpengaruh rezim yang berkuasa?

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa
Disana, tempat lahir beta
Dibuai, dibesarkan bunda
Tempat berlindung dihari tua
Tempat akhir menutup mata

Dan sejak saat itu setiap pemilu saya selalu menimbang-nimbang, pilihan mana yang kiranya punya itikad baik dan SADAR, bahwa kebijakannya kelak bukan milik dia-dia yang memiliki 'kepentingan', tetapi kebijakannya  akan menyangkut hajat hidup orang banyak masih berhak punya harapan. 

Dan pada beliau saya sematkan doa, semoga senantiasa berani memperjuangkan, Indonesia seharusnya menjadi tempat berlindung bagi siapa. 

***

Ditulis dalam keresahan setelah menonton video dokumenter "Limbung Pangan" pada tautan ini.

Comments

Popular posts from this blog

It was the FIRST time....

Rezeki itu Allah yang ngatur, Nduk (part 1)