Pendidikan Keluarga: Adab kepada Guru
Dalam momen Hari Guru, izinkan saya menulis tentang refleksi pendidikan Adab terhadap Guru. Upaya menulis kali ini selain memanfaatkan momen, juga didasari kegelisahan tentang kasus kriminalisasi guru yang terjadi di Indonesia belum lama ini, yang tidak seharusnya terjadi.
Pendidikan mengenai adab terhadap guru menurut saya adalah pendidikan yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab PENUH orang tua. Bagaimana tidak? Ketika menyekolahkan anaknya, sudah seharusnya orang tua sadar bahwa ia sedang "meminta bantuan guru" untuk turut serta mendidik anaknya menjadi pribadi yang lebih baik dan beradab. Oleh karena itu, tugas orang tua lah yang "mendidik anaknya" untuk hormat (respect) dan berbuat baik kepada "partner mendidik-nya".
Ada beberapa pembiasaan yang dilakukan orang tua saya dalam mendidik Adab terhadap guru pada kami anak-anaknya.
1. Tepat waktu dalam belajar = menghargai waktu guru
Suatu hari saya pernah kurang "cak-cek" (sigap) ketika akan berangkat les bahasa Inggris. Tentu saja akibatnya saya terlambat. Sepulang les ibu saya langsung menegur.
"Menuntut ilmu pada guru itu, jangan sampai membuat guru menunggu. Gurumu itu sudah meluangkan waktu untuk membagikan ilmunya. Padahal beliau bisa saja sebetulnya ada aktivitas lain yang bisa dilakukan. Jangan diulangi. Kita sebagai murid yang nunggu gpp."
2. Tanggung jawab berusaha memahami pelajaran = tanggung jawab murid.
Tanggung jawab memahami bukan tanggung jawab penuh guru (terutama ketika anak mulai besar dan bisa dilatih belajar mandiri)
Ketika SD antara kelas 5, saya pernah curhat ke ibu saya,
"Bu, kayaknya pak X ini ngajarinnya kurang enak deh"
"Memang kurang enaknya gimana?"
"Yaa, nadanya agak monoton gitu jadi agak ngantuk"
"Ooo. Memang kalau menurutmu gimana caranya biar ga ngantuk?"
"Yaa misalnya klo untuk mudah ngafalin gitu kita bikin lirik ngafalinnya pakai nada-nada lagu apaa gitu"
"Nah itu kamu ada idenya, bisa coba bikin sndiri?"
"Bisa sih."
"Sip coba lah kamu bikin. Tanggung jawab memahami pelajaran itu tanggung jawab kita sebagai murid yang mmg tugasnya belajar. Kita yang harus berusaha menyesuaikan dengan guru. Kalau gurumu jelaskan kamu belum paham, ya kamu yg harus nanya, kan kamu yg butuh ilmunya. Kalau pas pelajaran ngantuk, ya kita yang cari cara gimana caranya ga ngantuk. Kita juga yang harus cari cara sendiri gimana cara menyenangi pelajarannya.
Kalau kita merasa, ah kayaknya aku ga cocok deh sama guru ini. Ga boleh itu. Ya kita sebagai murid yang harus cari sisi apa dari guru itu yg cocok sama kita. Kita sebagai murid yang menyesuaikan diri. Misal kamu ajak ngobrol guru itu di luar pelajaran kah, atau gimana."
Menuntut ilmu itu harus sabar. Termasuk harus sabar menghormati dan menyesuaikan diri pada guru."
3. Silaturahmi guru & menokohkan guru dengan jasa-jasanya
Salah satu agenda silaturahmi lebaran adalah silaturahmi ke rumah guru-guru orang tua kami ketika mudik. Silaturahmi ini juga menjadi ajang orang tua kami menokohkan jasa-jasa beliau di depan kami, seperti
"Pak X ini yang dulu ngajarkan Bapak main teater. Berawal dari teater ini lah bapakmu mulai percaya diri."
"Pak Y ini yang dulu membela Ibu di depan guru-guru lain pas Ibu memutuskan pakai jilbab ketika SMA."
"Pak Z ini yang dulu ngajarin Ibu ngaji Qiro'ah di diniyah pas ibuSD, dan mulai ngajak Ibu ngaji di acara2 kampung sampai ngantar ke lomba-lomba MTQ"
Paparan silaturahmi sekaligus ajang berterima kasih ini menjadi paparan bagi kami, betapa pencapaian-pencapaian orang tua kami di masa kini tak lepas dari kontribusi guru-guru beliau di masa lalu. Dan cara pandang menghormati dan berterima kasih pada guru ini dicontohkan kepada kami.
4. Mengabarkan berita baik pada guru
Orang tua kami menjaga hubungan baik dengan guru-guru anak-anaknya, meski kami tidak lagi diajar oleh beliau-beliau. Hingga kini, ibu saya masih sering mengabarkan berita-berita baik tentang kami ke guru2 kami.
Contohnya, "Pak, alhmdulillah murid SD nya dulu dapat beasiswa ke Singapura", "Bu, alhamdulillah murid TK nya yang dulu pemalu dipangku ibu baru saja lulus dan skripsinya dapat pernghargaan", daaan lain2.
Kata ibu, "Sebagai guru, mendapat kabar baik murid-muridnya itu menyejukkan hati. Dan tentu saja semoga bisa jadi sarana mencharge semangat beliau2"
5. "Kesuksesan menuntut ilmu tak lepas dari ridlo guru"
Tentu saja, prinsip utama yang ditanamkan orang tua saya, berbuat baiklah, hormati, dan berprasangkalah yang baik2 pada gurumu karena ridlo guru itu penting. Jangan sakiti hati guru.
***
Semakin ke sini, hubungan orang tua dan guru rawan tergelincir pada hubungan transaksional. Sebagai contoh: orang tua berpikir "saya kan sudah mahal-mahal bayar spp" lalu menuntut guru "melayani". Padahal, bila dipandang dari perspektif betapa besarnya porsi amanah "mendidik" yang diambil alih oleh guru, jangan2 yang kita keluarkan sejatinya tidak pernah cukup untuk "memuliakan" para guru yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya (bahkan tak jarang waktu unt keluarganya sendiri).
Pada akhirnya, tugas orang tua mendidik anak respect kepada guru tidak sekedar pembiasaan "salim" kepada guru. Namun lebih jauh dari itu, bagaimana kita sebagai orang tua betul-betul memandang "guru" sebagai "partner mendidik" anak kita yang juga kita hormati.
Comments
Post a Comment